Postingan

Gambaran Umum tentang "Career Path" si Kutu Loncat

Gambar
Setiap tahun di kampus saya, setidaknya ada empat kali periode wisuda, Januari, April, Agustus, Oktober. Nggak bisa dibayangkan kan, berapa banyak di Indonesia ini menelurkan wisudawan baru, baik diploma, sarjana maupun paska sarjana. Apapun itu, wisuda merupakan selebrasi yang wajib dirayakan, karena datangnya cuma sekali dalam setahun. Beberapa adik angkatan saya di kuliah, sering bertanya mengenai "baiknya gimana nih habis wisuda? mau ngapain atau kerja dimana?". Dan saya sendiri sebagai generasi Y (sekarang generasi Z), nggak bisa menyimpulkan enaknya kerja dimana, karena saya sendiri merasa nggak sukses buat urusan karir. Padahal saya-nya dulu kerja di Career Network Center, which is HR Consulting yang ngurusin orang cari kerja. Namun, saya nggak mau adik-adik angkatan saya mengikuti langkah yang sama. Generasi Y dan Z, pada umumnya suka berpindah kerja. Sering pindah kerja ini, sering disebut kutu loncat (aku sih nggak suka dengan istilahnya, karena ini istilah

Berhadapan dengan PRO? Perhatikan Hal ini biar Gak Rugi

Gambar
Pada beberapa waktu lalu, di saat sibuk-sibuknya, saya ditawari teman untuk membantu roadshow sebuah acara talkshow teknologi terkemuka. Nah, sangat disayangkan, vendor yang menanganinya adalah bukan orang yang profesional (PRO). Memang dari berbagai hal, karakter personal dari lead vendor ini memang tidak mencerminkan orang yang pro, sehingga mau nggak mau, kami terjebak pada hal-hal yang lumayan disayangkan ketika membantu mereka. Untuk menghindari lagi hal-hal tersebut, berikut hal yang perlu diamati untuk mengetahui partner kita adalah orang yang pro atau tidak. 1. Nomor Handphone Nomor handphone itu penting sebagai representatif profesionalisme. Pada dasarnya orang yang pro selalu menggunakan nomor paska bayar; misalnya kartu Halo dari Telkomsel (dengan nomor depan 0811xxxxx), atau Matrix (dengan nomor depan (0816xxxx atau 0855xxxx). Mengapa demikian? Karena orang yang pro berinvestasi pada bagaimana membangun jaringan/network, dan reputasi diri mereka. Apabila kamu beker

GO-JEK lagi, GO-JEK lagi: Banyak Cerita tentang Go-Jek

Gambar
Hari gini, siapa sih yang tidak mengenal Go-Jek ! Start-up yang satu ini memang kelewat hits dari pertama kali ada. Sebenarnya nggak pas pertama kali ada sih, karena Nadiem membuat perusahaan ini di tahun 2010, dan menurut saya mulai naik daun di tahun 2014. Kala itu, info mengenai start-up lagi "boom" di Indonesia. Dalam waktu enam tahun, start-up asli Indonesia ini sudah menjadi unicorn-nya Indonesia. Go-Jek kalau bisa dibilang sudah sekelas Facebook lah kalau di Sillicon Valley, US. Sebagai pengamat start-up seperti  @startupwati , sebenarnya banyak hal yang terkadang membuat saya wow dan mikir banget dengan adanya Go-Jek, diantaranya; 1. Beda Wilayah Beda Harga Pada awal tahun 2016 lalu, saya diberi kesempatan untuk keliling Indonesia (kota-kota besar maksudnya), dan karena saya anak Go-Jek-ers, untuk keliling kota saya menggunakan Go-Jek. Kota pertama adalah Bandung, dimana pada saat itu sedang promo Rp10rb untuk semua tujuan. Selanjutnya Jakarta, dimana untuk

Jenjang S2 di Indonesia Sampah? Sepertinya Begitu

Gambar
Baiklah, tulisan ini memang kontroversial, namun ada kalanya hal-hal sarkastik perlu ditulis agar menjadikan kita membuka mata. Mengenai jenjang S2 yang sampah ini, berkali-kali saya baca dan saya dengarkan dari beberapa orang, yang mana merupakan alumni dari S2, maupun masyarakat sekitar. Tidak hanya itu, di dunia bisnis, jenjang S2 Indonesia ini juga dinilai sampah, yang mana tidak dibutuhkan di dunia bisnis. Mengenai jenjang S2 yang sampah, ada beberapa hal yang menjadikannya seperti itu. Berikut alasannya; 1. Alumni jenjang S2 sudah terlalu banyak di Indonesia. Dikarenakan hampir semua universitas membuka program S2, maka imbasnya adalah, semakin banyak lulusan S2 di Indonesia. Asumsikan saja ada 500 universitas di Indonesia yang membuka sekolah bisnis dengan jenjang S2, dan setiap tahun melahirkan 100 lulusan maka, Indonesia memiliki 10.000 alumni S2, dan setiap tahunnya akan terus bertambah.   Anyway , baru cuma S2 Bisnis loh, belum yang lain. Nah, karena terlalu banyaknya

Belajar dari X-Men Film Series

Gambar
Magneto - Xmen Ya, saya penggemar film XMEN. Dari dulu jaman SD, saya memang demen banget sama film yang satu ini. Meski nggak banyak baca komiknya, menurut saya versi film lebih menarik karena bagaimana Marvel memvisualisasikannya memang benar pas dan bikin mikir banget. Dari film Xmen, X-II, Xmen: Last Stand, Xmen First Class, The Day Future Past, dan yang terakhir banget adalah Xmen: Appocalypse, ini  menurut saya cocok banget di rating 9 di IMDB. Sebenarnya kenapa sih saya maniak banget film Xmen? Karena saya banyak belajar beberapa hal didalamnya, diantaranya: 1. Minoritas bukan berarti lemah dan kalah Ini belajar dari film pertama (dan mungkin semua film Xmen) bahwa minoritas bukan berarti lemah dan kalah. Seperti di film ini, mutan, adalah makhluk yang secara fisik berbeda (dan tidak sempurna), dan karena itu selalu dipinggirkan. Namun sebenarnya mereka memiliki kekuatan yang lebih dari yang lain. Begitu pula berkaca dengan diri sendiri, saya memang sering menga

Rangga (dan Cinta)! Apa yang Kamu Lakukan Padaku itu, JAHAT!

Gambar
Ja-hap Ya, quote film AADC 2 itu bener banget. Setelah film itu launching, Yogyakarta (tempat saya tinggal) jadi sorotan seluruh masyarakat Indonesia. Tak jarang banyak orang dari berbagai kota datang untuk ikut reka ulang adegan-adegan Rangga-Cinta di spot-spot Jogja. Duh, Rangga (dan Cinta)! Apa yang kamu lakukan ke aku (mungkin juga beberapa orang asli Jogja) JAHAT! Kenapa? 1. JOGJA makin macet Yaiyalah, secara di long weekend ini banyak yg mau dateng buat mengunjungi spot-spot adegan AADC2. Bahkan banyak juga yang melakukan reka ulang adegan AADC2. Konsekuensinya ya makin macet dimana-mana. Nggak cuma di tempat wisata itu aja, tapi juga di jalan-jalan protokol kayak Jalan Kaliurang (perempatan kentungan) dan juga Jalan Condong Catur (perempatan Concat-Gejayan) sekarang macet banget. Eh tapi memang kalau ga liburan macet juga sih. Ah yaudah lah memang takdirnya gitu. Nih, kalau mau reka ulang adegan AADC2 2. JOGJA makin mahal Karena mumpung jogja lagi

Budaya "Too Negative" di Indonesia

Gambar
Ketika saya bekerja di perusahaan desain US yg berbasis di Kuala Lumpur beberapa tahun lalu, sering kali boss saya bilang "Hey you, that's too negative", ketika saya pesimis atau merespons sesuatu yg tidak mungkin bisa dilakukan. Ini menjadi motivasi bagi saya, bahwa segala sesuatu itu harus positif dan dengan semangat. Saya-pun flashback ketika kuliah di MMUGM yg waktu itu dosen-nya adalah bu Ida, yg dia juga sering mengajar di luar negeri. Kami di kelas Business Communication, sering diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan positif. Bahkan untuk hal-hal kecil yang disampaikan seperti kuis. Misalnya saja merubah kalimat "Dilarang Buang Sampah Disini" menjadi "Buanglah Sampah pada Tempatnya". Ini mengandung dua muatan, dimana kalimat pertama adalah paksaan dan negatif. Nah, mengenai komunikasi positif-negatif ini, juga saya rasakan ketika bekerja di perusahaan Indonesia. Betapa jetlagnya ketika di perusahaan luar selalu diajarkan sesu