GO-JEK lagi, GO-JEK lagi: Banyak Cerita tentang Go-Jek



Hari gini, siapa sih yang tidak mengenal Go-Jek! Start-up yang satu ini memang kelewat hits dari pertama kali ada. Sebenarnya nggak pas pertama kali ada sih, karena Nadiem membuat perusahaan ini di tahun 2010, dan menurut saya mulai naik daun di tahun 2014. Kala itu, info mengenai start-up lagi "boom" di Indonesia.

Dalam waktu enam tahun, start-up asli Indonesia ini sudah menjadi unicorn-nya Indonesia. Go-Jek kalau bisa dibilang sudah sekelas Facebook lah kalau di Sillicon Valley, US. Sebagai pengamat start-up seperti @startupwati, sebenarnya banyak hal yang terkadang membuat saya wow dan mikir banget dengan adanya Go-Jek, diantaranya;

1. Beda Wilayah Beda Harga

Pada awal tahun 2016 lalu, saya diberi kesempatan untuk keliling Indonesia (kota-kota besar maksudnya), dan karena saya anak Go-Jek-ers, untuk keliling kota saya menggunakan Go-Jek. Kota pertama adalah Bandung, dimana pada saat itu sedang promo Rp10rb untuk semua tujuan. Selanjutnya Jakarta, dimana untuk 10Km pertama, masih bayar Rp12rb (promo). Promo lain yang juga digunakan adalah ketika di Medan dan Makassar, dimana masih bisa dibawah Rp15rb untuk 10Km. Berbeda dengan Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta, ketika saya menggunakannya, saya tidak menggunakan promo, karena sudah tidak bulan promo. Kota lainnya, Bekasi, Tangerang, Depok, Solo, dan Bogor, ternyata ada Go-Jek-nya lho, dan saya sempat memakai layanannya.

Jika dikomparasi, untuk harga layanan Go-Jek paling mahal adalah Yogyakarta per km nya. Cukup unik juga sih, padahal Jogja kan apa-apa biasanya murah. Nah, untuk paling murah, menurut saya adalah di Jakarta. Ini kebalikannya dari Yogyakarta. Kenapa ya, beda wilayah beda harga? Apa karena budaya orang-orangnya di kota tersebut ya?

2. Banyak Haters, tapi Juga Banyak Lovers
Tahun 2015 lalu, ketika saya berada di Bandung, semua mas-mas Gojek tidak mau menggunakan atribut Go-Jek. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau diamuk massa (yang mereka adalah orang-orang ojek konvensional dan pengemudi angkot). Nah pada Maret 2016, di Jakarta terjadi kerusuhan juga untuk Go-Jek driver ini, dikarenakan pengemudi Taksi konvensional yang ugal-ugalan pada saat demo Uber dengan Taksi biasa.

GoJek memang banyak musuhnya, baik dari kompetitor (platform ojek online biasa, maupun ojek konvensional), start-up enthusiast, maupun pengguna yang kapok dengan platform ini. Namun seperti kata pepatah, "Semakin tinggi pohon, semakin banyak juga angin yang mengganggu", apalagi start-up yang baru berumur enam tahun, pasti juga banyak haters-nya. Tapi nggak masalah, karena jika dibandingkan, pengguna yang suka gojek lebih banyak daripada yang enggak. Kalau internal GoJek ngurusin haters yang ganggu banget nggak ya?

3. Manajemen Driver
Sering banget kan menemukan driver gojek yang resek. Saya juga! Ketika saya menggunakannya di Jakarta, dan saya menemukan supir gojek yang resek (nyinyir - bawel - nggak bisa ngendarain motor), rasanya pengen gantian saya yang nyupirin aja daripada telat. Kalau diberi rating satu, mereka tidak segan-segan telpon balik, mengancam, bahkan mencegat dijalan. Ini yang menurut saya "irritating". Selain itu, ada juga asosiasi di grup gojek, yang pada intinya, jangan ambil pengguna ini karena perlakuannya nggak baik - padahal ini karena driver gojeknya aja yang rese. Cerita lain adalah ketika cancel order karena driver-nya masih jauh dari tempat picking order, dan GPS Signal splitter, biar si driver bisa banyak ambil order dengan lokasi yang pendek.

Pertanyaan dari saya, apakah tim GoJek ngurusin sampai drivernya juga nggak ya? Karena si HR nya pasti rempong udah ngurusin tim internal yang ada, belum lagi ngurusin yang luar-luar. Memang GoJek bukan merupakan perusahaan finansial atau bank, yang serba patuh pada SOP dan Compliance, namun kalau melihat user-nya yang banyak, ini pada akhirnya menjadi hal yang penting.

4. Reputasi Founder Mendominasi
Siapa yang tidak kenal Nadiem Makarim, founder dan CEO GoJek? Dari profilnya yang so-so dengan Mark Zuckerberg, sama-sama dari Harvard (kayaknya saya harus kuliah di Harvard juga biar oke). Kemudian jadi mafia Zalora di usia 20 tahunan, menjadikan personal brand dari Nadiem tinggi banget. Okai, buat kamu yang mau bikin start-up, contohlah si Nadiem ini. Harvard dan Zalora.

Nah, jika nantinya Nadiem sign out atau passed out, dan meninggalkan Go-Jek, apa yang terjadi ya? Akankah nanti senasib dengan Yahoo!?

5. Followers Banyak, tapi Akankah selalu Juara?
Banyak banget platform lokal yang sama dengan gojek, seperti Ngooyakk, Blue Jack, Purple Jack, Call Jack, dan Jak Jak lainnya. Meski banyak followernya, GoJek tetap banyak dipakai dan tetap menjadi brand yang top of mind bagi pelanggan. Ada juga yang sama seperti go-food untuk lokal, dan juga go-box. Menurut saya, aplikasi GoJek ini semuanya all in one.

Nah, sebenarnya, platform apakah yang bisa melawan go-jek ini? Sesuatu yang disruptif tingkat tinggi, dengan social impact yang besar, dan teknologi tinggi. Aplikasi loh ya, bukan kebijakan pemerintah yang mengalahkannya.

6. Go-Jek Ganti Nama
Layanan Go-Jek sudah banyak dan tidak hanya berfokus pada ojek saja. Ada Go-Car, Go-Food, Go-Box, Go-Massage, Go-Clean, Go-Glam, Go-Tix, dan Go-Pay. Mungkin besoknya ada Go-Go-Power Rangers juga, kali-kali aja kamu butuh pertolongan super hero.

Nah perlu nggak ya si Go-Jek ini ganti nama? Secara enggak go-ojek lagi kan. Apalagi yang konon udah ekspansi ke India? Go-Nehi mungkin bisa jadi loh. hihi.


Itu beberapa pemikiran saya tentang Go-Jek. Kali aja kamu ada pikiran yang lain, share aja guys!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 Dokumen yang Harusnya Gak Perlu Pas Ngelamar Kerja.

Gambaran Umum tentang "Career Path" si Kutu Loncat

Mengapa Biaya Makan di Tiap Kota Beda-beda?